_Pemilu Tahun 1955_


KONDISI INDONESIA PRA PEMILU TAHUN 1955

       Kondisi perpolitikan di Indonesia sebelum dilaksanakan Pemilu tahun 1955 ada dua ciri yang menonjol, yaitu munculnya banyak partai politik (multipartai) yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik dan sering terjadi pergantian kabinet/pemerintahan. Ini merupakan salah satu dampak dari sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia yakni Demokrasi Liberal yang sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Pada masa ini perkembangan partai politik diberikan ruang yang seluas-luasnya. Dari tahun 1950-1959, terdapat tujuh kabinet yang memerintah.
1.   Kabinet Mohammad Natsir (7 September 1950 – Maret 1951)
Kabinet ini merupakan Zakaen Kabinet, yaitu suatu kabinet yang anggotanya terdiri atau diisi oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi dan profesionalitas masing-masing individu sesuai dengan bidangnya, setiap orang yang ditunjuk menjadi menteri adalah orang-orang yang ahli. Dalam kabinet Natsir ini intinya adalah Partai Masyumi, dan menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951 setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang-Undang Darurat yang mendapat kritikan dari Partai oposisi.
2.      Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952)
Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa kabinet ini muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan adanya Republik Maluku Selatan. Kabinet Sukiman jatuh karena kebijakan Luar negerinya dianggap condong ke Amerika Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan penandatangan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerjasama keamanan dan Amerika Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Indonesia.
3.      Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953)
Dalam kabinet ini di dukung oleh PNI, Masyumi dan PSI. prioritas utama program kerjanya adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawak. Peristiwa 17 Oktober 1952 yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh angkatan darat yang di pimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan parlemen baru. Sedang peristiwa Tanjung Morawak (Sumatera Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di tanjung Morawak yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas.
4.      Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini dikenal dengan kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya konferensi di Bandung 18 – 24 April 1955.
5.      Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi. Keberhasilan yang diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955. Karena terjadi mutasi di beberapa kementrian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
6.      Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957)
Program Kabinet Ali II disebut rencana lima tahun. Program ini memuat masalah jangka panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Muncul semangat anti Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah. Akhirnya pada maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
7.      Kabinet Djuanda (Maret 1957 – April 1959)

Kabinet Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya merupakan para ahli dan pakar di bidangnya masaing-masing. Tugas kabinet Djuanda melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Batrat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959.
Beberapa kabinet yang memerintah pada masa demokrasi liberal telah menetapkan Pemilu sebagai salah satu program kabinetnya. Pelaksanaan Pemilu merupakan konsekuensi dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Pada waktu itu, sebagian partai politik belum berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat karena lebih mementingkan para pemimpinnya. Kenyataan itu mengakibatkan kehidupan politik tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Kepincangan terjadi di sana sini sehingga rakyat menjadi frustasi dan menuntut agar segera dilaksanakan Pemilihan Umum.

sumber :
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/83-sistem-multipartai-di-indonesia.html